Catatan Pengalaman Umroh (15): Ketenangan Batin atau Kesenangan Batin?

15Pulang dari umrah, saya merasakan sebuah kepuasan tersendiri yang menyenangkan. Hati rasanya tenang, tanpa beban. Rasa capek lantaran bepergian, tidak sebanding dengan kesenangan yang diperoleh sepulang umrah. Tidak ada kata yang lebih pantas diucapkan kecuali “Alhamdulillah” karena sudah selesai menjalani ibadah umrah. Meskipun hanya ibadah sunnah. Tetapi pada saat itulah saya bertanya-tanya, apakah yang sebetulnya saya dapatkan sepulang umrah? Ketenangan atau kesenangan? Artinya beda lho….

Kalau diposisikan dalam garis koordinat, bahwa yang namanya kesenangan itu nilai positif, dan kesedihan itu nilai negatif, maka yang namanya ketenangan itu nilainya nol. Tidak merasa senang, juga tidak merasa sedih. Ketenangan adalah sebuah perasaan tidak gampang marah, tidak mudah tersulut emosi, tidak mudah bereaksi terhadap segala kondisi. Tetapi ketenangan bukan berarti statis membeku tanpa perasaan sama sekali. Karena ketenangan tidak selalu seperti air danau yang diam, melainkan juga air sungai yang mengalir lambat tanpa gejolak. Seperti laut tanpa gelombang, namun tetap memiliki alun yang ritmis. Bisa saja hati merasa senang, sedih, kesal dan sebagainya, namun semuanya masih dalam batas-batas yang biasa saja. Tidak berlebihan.

Jujur saja, karena saya baru pertama kali umrah, maka tentu saya merasa senang sudah mendapat kesempatan mengunjungi kota suci Madinah dan Makkah. Saya senang karena sudah bisa menjalankan tawaf dan sa’i, sudah tahu Jabbal Rahmah, Jabbal Uhud, masjid Nabawi dan Raudlah serta makam Rasulullah, masjid Quba dan lain-lain, yang selama ini hanya saya ketahui melalui bahan bacaan maupun cerita kerabat yang pernah umrah atau haji. Saya menjadi tidak katrok lagi kalau ada yang bercerita soal pengalaman ibadah haji. Meskipun, ritual dalam ibadah haji lebih lengkap, toh saya sudah tahu dimana Padang Arafah, Musdalifah dan posisi lempar jumrah. Bahkan saya merasa sedikit punya “kelebihan” karena berhasil mencium Hajar Aswad. Dari cerita kerabat dan tetangga yang pernah ibadah Haji, jarang lho mereka berkesempatan mencium Hajar Aswad…. Alhamdulillah saya, juga isteri, berhasil menciumnya….

Tetapi ketika saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya senang ataukah tenang? Jangan-jangan saya hanya merasa senang sebagaimana kesenangan wisatawan yang baru pulang dari luar negeri. Jangan-jangan saya hanya euforia karena baru saja mengalami sesuatu yang luar biasa, sehingga saya menjadi terkaget-kaget. Padahal, filosofi Jawa mengatakan: Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh. Artinya kira-kira: Jangan mudah heran atau kagum, jangan mudah terkejut dan jangan mentang-mentang atau sombong. Bukan tidak mungkin, kalau saya mampu mencapai tahapan Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, Ojo Dumeh itulah maka saya betul-betul mendapatkan ketenangan batin, bukan kesenangan batin.

Filsafat Jawa itu memang luar biasa. Ojo Gumunan adalah bentuk larangan untuk tidak mudah kagum atau heran dengan apa saja yang pernah dilihat, didengar dan dialami. Jangan mudah kagum karena pernah umrah, bisa melihat dan menyaksikan serta mengalami sendiri berbagai hal dan kondisi yang mengagumkan. Ojo gumunan juga bermakna kita harus selalu memperbaiki diri dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan perubahan keadaan sekitar. Kita harus menjadi subjek dan bukan sekedar objek.

Sedangkan ojo kagetan, makna harfiahnya adalah jangan mudah terkejut. Filosofi ojo kagetan bermakna kita harus mawas diri terhadap perubahan sekeliling dan lingkungan kita, juga bermakna persiapan diri sendiri menghadapi perubahan sekeliling tanpa ikut berubah seperti sekeliling. Ojo Kagetan merupakan panduan agar kita selalu membabar terlebih dahulu terhadap segala yang terjadi. Analisis terlebih dahulu dari setiap masalah, baru tentukan strategi dan tindakan yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Karena jika kita menyelesaikan dengan bersikap reaktif, maka kemungkinan besar keputusan maupun tindakan kita masih mentah dan tidak mampu menyelesaikan inti masalahnya. Tantangan terbesar dari penerapan pandangan hidup ini ialah emosi dan harga diri kita, yang bisa ‘sak dheg sak nyet’ (merespon spontan) ketika terjadi sesuatu hal yang sensitif di sekeliling kita.

Terakhir, Ojo Dumeh artinya janganlah kita sombong dalam menghadapi lingkungan di sekeliling kita. Dumeh atau mentang-mentang kita kaya, mentang-mentang bisa umrah atau haji, Dumeh lebih pandai dari rata-rata rakyat Indonesia, kemudian melakukan pembodohan secara terus menerus dengan informasi-informasi yang membingungkan dan menyesatkan. Dumeh menjadi rakyat kecil, dengan seenaknya kita hanya bisa mengkritik dan mencaci maki para pimpinan, meski mereka kadang benar sekalipun. Ojo dumeh adalah ajaran dasar untuk selalu melakukan introspeksi diri terhadap lingkungan, sesama manusia, dan juga kepada Sang Pencipta. Dengan tidak dumeh, maka kehidupan sebenarnya akan lebih baik dan lebih tentram. Ojo dumeh merupakan larangan agar kita jangan bersikap sombong, pamer mengenai segala sesuatu yang kita miliki. Seharusnya kita bersikap andap asor mring sapodho, atau bersikap rendah hati terhadap sesama. Segala yang kita miliki baik itu harta, jabatan, pengetahuan, maupun istri, anak, sanak saudara, ini hanyalah sementara, dan titipan dari Yang Maha Kuasa. Kita diamanahkan untuk mengamalkannya agar menjadi milik kita yang hakiki kelak di alam sesudah kita meninggalkan dunia fana ini.

Saya teringat pengalaman latihan meditasi di Vihara Seririt di Bali dua tahun lalu. Selama 10 hari nyepi dan tapa bisu itu saya diajari bagaimana menjadikan emosi netral, tidak sedih, tidak gembira berlebihan, tidak marah, tidak gampang emosi dan sebagainya. Memang sulit, dan terus terang saya memang belum berhasil (untuk tidak dibilang gagal sama sekali), namun setidaknya saya sudah berusaha berlatih untuk mencapainya. Terkait dengan hal ini, saya ingat apa yang dikatakan seorang Bikhu terkenal, Ajahn Brahms, sosok yang selalu nampak ceria dalam menghadapi dan menjalani hidup. Dalam wawancara dengan wartawan Kompas Maria Hartiningsih pernah bertanya, “Anda tidak bisa marah?” Jawabnya adalah, “silakan mencoba membuat saya marah.”

Bisa menahan emosi untuk tidak marah itulah yang saya kira disebut dengan ketenangan tersebut. Sementara saya masih suka terpancing emosi ketika berkendara di jalanan, ada yang menyalip seenaknya, ada yang ugal-ugalan, dan memposisikan saya untuk menjadi marah. Dalam keseharianpun saya masih saja tergoda untuk marah kalau ada hal-hal yang menjengkelkan atau ada orang lain yang berlaku seenaknya. Marah terhadap anak-anak, marah terhadap isteri, padahal itu semua sebenarnya pelampiasan dari kesumpekan saya sendiri. Jujur saja, sepulang umrah rasanya saya belum berhasil mencapai ketenangan, melainkan kesenangan belaka. Bahkan selama menjalani umrah itu saja saya ternyata sama sekali belum bisa membebaskan diri sendiri dari perasaan marah, mangkel, jengkel atau hal-hal semacam itu. Saya masih jengkel kalau ada anggota rombongan yang berperilaku kurang tepat, suka telat atau bersikap semena-mena. Samapai-sampai saya beberapa kali diingatkan oleh isteri saya agar sabar.

Tetapi, sekali lagi, meski saya belum bisa sepenuhnya mendapatkan ketenangan sepulang umrah, saya masih berusaha untuk mendapatkan ketenangan itu dengan berbagai cara, dengan segala upaya, yang penting berusaha. Saya pernah membaca artikel, bahwa untuk mendapatkan ketenangan hati, sering-seringlah membaca istighfar, berzikir, membaca Al Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya. Dengan kata lain, kalau toh saya memang belum berhasil mendapatkan ketenangan sepulang umrah, maka setidaknya saya sudah mencoba membuat semacam habitat tempat tumbuh suburnya pohon ketenangan ini. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).

Karena itu saya selalu mencoba untuk ingat terus menerus apa yang saya lakukan selama umrah sebagai sebuah warning agar saya selalu terus setia berada di jalan-NYA. Biarkan saja saya merasa senang, selama tidak saya lampiaskan secara berlebihan. Bukankah wajar saja toh saya senang karena berhasil umrah? Bukankah tidak setiap orang punya kesempatan bisa umrah, meskipun mereka kaya dan punya uang berlebih serta waktu yang cukup. Antara berangkat umrah, juga haji, dengan ketersediaan biaya itu seolah-olah dua hal yang tidak berhubungan. Memang seperti itulah kenyataannya.

Kesenangan-kesenangan itulah yang saya bagikan kepada tetangga yang berkunjung ke rumah, mengucapkan selamat, meski mereka semua menyayangkan kenapa kami tidak pamitan ketika hendak pergi. Memang tidak satupun tetangga, termasuk guru-guru mengaji di TPQ yang menempati mushola waqof keluarga saya, yang kami pamiti ketika hendak berangkat umrah. Hanya handaitolan dan famili serta orang-orang terdekat yang tidak berdomisili dekat rumah yang kami beri tahu soal rencana umrah ini. Bukannya kuatir menyediakan oleh-oleh, tetapi kami merasa bahwa ibadah umrah ini adalah sebuah mukjizat. Kami sama sekali tidak pernah membayangkan akan bisa pergi umrah secepat ini. Hanya satu bulan mengambil keputusan, langsung berangkat. Lagi pula, jujur saja, kami memang tidak memiliki dana berlebih untuk membeli apa-apa yang memadai. Sudah bisa berangkat saja Alhamdulillah.

Kami merasa senang karena bisa “memberi oleh-oleh” berupa foto-foto yang kami tunjukkan dari layar laptop. Bisa kami putarkan juga rekaman video saat tawaf, yang saya ambil dengan kamera saku dari lantai paling atas Masjidil Haram. Mereka yang sudah pernah umrah atau haji akan memberikan komentar tambahan mengenai apa yang dilihatnya. Sementara yang belum pernah haji atau umrah, merasa senang dapat melihat dokumentasi kami. Itulah oleh-oleh yang murah meriah, sekaligus bermanfaat. Dan sebagaimana biasanya, mereka meminta oleh-oleh khusus, berupa doa dari saya, karena ada anggapan bahwa orang yang pulang dari umrah atau haji itu doanya mudah dikabulkan. Selama 40 hari setelah pulang dari tanah suci, malaikat masih melekat di tubuhnya.

Saya tidak tahu, doa apa yang seharusnya saya bacakan. Saya tidak sempat bertanya kepada yang sudah pernah Haji tentang doa itu. Tetapi saya anggap saja doa itu paling-paling berkisar mengenai keselamatan, kesehatan, kesejahteraan, ilmu yang bermanfaat, dijauhkan dari segala penyakit, diampuni dosa-dosanya, selamat dunia akhirat, dan sekitar itulah. Maka saya baca saja doa hendak minum air zamzam, sekalian memberikan mereka satu sloki zamzam tersebut: Allahhuma inni as-aluka, ‘ilman nafi’an, wa rizqan waasyi’an waa syifaan min kulli daain wa syaqamin birahmatika yaa arhamahrraahimin…. (Ya Allah, aku mohon pada-MU ilmu pengetahuan yang bermanfaat, rizki yang luas dan sembuh dari segala sakit dan penyakit dengan rahmat-MU ya Allah wahai Tuhan Yang Maha Pengasih).

Kesenangan dan euforia memang masih menyelimuti hari-hari kami sepulang umrah. Tamu berdatangan silih berganti. Kebanyakan adalah teman-teman isteri saya, teman PKK, teman pengajian dan tetangga-tetangga. Sementara teman saya sendiri hanya satu dua saja. Dan terus terang saya merasa “iri” dengan isteri saya karena dia dalam sebulan setelah pulang umrah, selalu bermimpi masih berada di Makkah atau Madinah. Suatu pagi dia bercerita bahwa semalam dia bermimpi sholat di masjid Nabawi, keesokan harinya dia bercerita sedang thawaf. Besoknya lagi menceritakan mimpinya sewaktu Sa’i. “Saya heran, kenapa yaa kok hampir setiap hari saya bermimpi seolah-olah saya masih menjalankan umrah,” kata isteri saya.

Konon, dalam tempo 40 hari sepulang umrah, malaikat masih melekat pada diri jamaah. Itu sebabnya banyak orang yang menganggap bahwa mereka yang pulang umrah, apalagi haji, memiliki kemampuan doa yang makbul. Sampai-sampai tetangga saya yang sudah pernah menjalankan ibadah haji berkali-kali pun masih menganggap perlu minta doa dari saya ketika dia nyambangi ke rumah. Ya sudah, saya doa sebisanya saja, lha wong bisanya cuma itu. Mending berdoa pakai bahasa Indonesia saja ketimbang bahasa Arab yang justru tidak dimengerti artinya.

Saya tidak tahu, apakah isteri saya yang tiap hari mimpi umrah itu karena ID Card-nya ketinggalan dan hilang sewaktu sholat di masjidil haram? Memang ada cerita, orang-orang sengaja meninggalkan identitas di Makkah dengan anggapan bahwa supaya ada sebagian dari dirinya yang masih berada di Makkah, sehingga mereka berharap dapat kembali lagi. Ada yang sengaja meninggalkan foto atau barang pribadi lainnya. Seorang teman dalam rombongan umrah bercerita bahwa sewaktu menjalankan ibadah haji sebelumnya sengaja meninggalkan pakaian ihramnya di masjidil Haram. Dan dia beranggapan, bahwa kepergiannya umrah kali ini merupakan penanda harapannya terkabul. Wallahualam.

Sedangkan saya, nyaris tidak merasakan adanya sesuatu yang tertinggal di sana. Meskipun, saya merasakan ingin kembali lagi, umrah lagi, syukur-syukur bisa pergi haji, sebagaimana doa yang saya panjatkan di depan multazam. Pertanyaannya sekarang, benarkah kali ini saya memang betul-betul sudah umrah dalam arti sebenar-benarnya umrah???
– Bersambung (lagi)

5 Tanggapan

  1. saya juga pengin umroh dan haji yang menenangkan dan melegakan pak, terima kasih sudah berbagi

  2. keinginan kembali ke sana biasanya karena sudah merasakan aura yang berbeda, pak. lebih menenangkan batin. katanya kalo udah ke sana, jadi kangen kembali. semoga suatu saat saya bisa ke sana juga bareng keluarga. aamiin

  3. pengalaman bpk sama spt saya..begitulah..tdk menyangka bs cpt dipanggil giliran utk berumrah.. sebenarnya biasa saja.tp tempat mulia itulah yg membuat kita harus bersemangat benar2 memaknainya utk hanya beribadah.. tempat,bangunan adl sarana utk lbh khusuk dan dekat dg Alloh..soal dikabulkan apa blm..insyaAlloh dikabulkan.aamiin.. yg pasti Alloh sesuai dg kehendakNya,berdoa dimanapun(kecuali dtoilet) jika Alloh meridhoi pasti dikabulkan,insyaAlloh.smga umrah kita termasuk yg diridhoi utk menjadikan kita pribadi yg lbh baik..dan diijabai setiap doa yg dipanjatkan..aamiin..

  4. Senang sekali rasanya setelah menyelesaikan umroh, sudah jadi keinginan banyak orang untuk dapat menjalani ibadah umroh, namun sayangnya tidak semua orang dapat merasakan kesenangan tersebut karena mahalnya biaya umroh.

  5. alhamdulillah saya juga berkesempatan kesana baru-baru ini, indahnya tidak bisa dilukiskan kata-kata. sedikit saya juga coba tuangkan di blog tapi ternyata kepanjangan dan agak membosankan hehe 😦

    http://biarbiur.blogspot.com/2015/01/sebuah-kisah-nyata-perjalanan-spiritual.html

Tinggalkan Balasan ke Roy Batalkan balasan