Out of the Box Masdibyo

Catatan Henri Nurcahyo

Barangkali sosok masdibyo tak ubahnya Jokowi. Meski banyak orang yang nyinyir dan terus menerus melontarkan ketidak-sukaan, dia menjawabnya dengan kerja, kerja dan kerja. Maka pameran demi pameran terus menerus dilakukannya, sendiri atau bersama.

Terhitung sejak tahun 1987 atau 29 (dua puluh sembilan) tahun yang lalu, pelukis kelahiran Pacitan ini sudah mencatatkan pameran tunggal ke 44 (empat puluh empat) kali. Berarti rata-rata dalam setahun lebih dari satu kali pameran tunggal, malah pernah setahun 3 kali kali pameran tunggal (1995, 1997, 1999, 2005, 2006).   Bahkan pernah setahun pameran tunggal hingga 4 (empat) kali (2003). Siapakah yang sanggup menandingi produktivitasnya dalam hal pameran tunggal seperti ini?

Karena itu pelukis yang tinggal di Tuban ini tidak peduli kalau dalam pameran bersama yang dianggap “sakral” oleh kebanyakan pelukis seperti Biennale (dan semacamnya) tidak menyertakan dirinya menjadi peserta. Dengan atau tanpa sponsor, atau bahkan tanpa kurator sekalipun, pelukis alumnus IKIP Negeri Surabaya ini sanggup menggelar pameran tunggal yang tak kalah megahnya. Seperti yang dilakukan kali ini, pameran tunggal lagi ke-44  di lobby Bakrie Tower Kuningan Jakarta (5-30 April).  Tidak gampang lho bisa (baca: mampu) pameran di sini. Mahal sewanya.

“Saya gratis kok,” ujarnya disusul tawa. Soal yang satu ini ada kisahnya sendiri, sehingga Abu Rizal Bakrie, pemilik gedung ini menggratiskannya.

Yang jelas, di tengah belantara seni rupa negeri ini, sosok masdibyo (memang “m” huruf kecil) adalah out of the box. Jangan pernah menggunakan kacamata mainstream untuk menilai dirinya. Bayangkan, ketika banyak pelukis sedemikian menghamba terhadap kurator, pengagum sosok Wisanggeni ini dengan lantang menolaknya, bahkan tak segan-segan menyebut kurator itu asu. Dalam pameran tunggal ke 43 tahun 2016, juga di Bakrie Tower, tema pamerannya adalah: “Ora tema-temaan, ora kurator-kuratoran.”

Satu dua kali memang pernah ada tangan kurator dalam pamerannya –seperti  pameran berdua dengan Gigih Wiyono– namun  kebanyakan dikuratori sendiri. Persiapan pelaksanaan pameran ditanganinya sendiri, tidak butuh event organizer (EO).  Karena itu 2 (dua) bulan sebelum pembukaan pelukis kelahiran 7 September 1962 ini sengaja tidak melukis sama sekali. Dia khusus mempersiapkan diri untuk pameran itu. Mulai membenahi piguranya, memotret lukisan satu persatu, membuat desain undangan, poster dan katalog serta menulis pengantar di katalog dan wall text. Termasuk mengawal pencetakan katalog sejak di tangan penata letak hingga keluar dari percetakan. Tidak ada ceritanya dia memamerkan lukisan dengan cat yang masih basah. Meski demikian, semua lukisannya selalu terlihat seperti masih baru. Ada teknik tersendiri untuk menjadikan lukisannya seperti nampak segar terus.

Seperti halnya kelaziman semua pameran lukisan, tentu ada buku katalog yang menyertainya. Demikian pula masdibyo dalam pameran tunggal ke-44 kali ini. Akan tetapi –inilah salah satu out of the box itu– tidak semua lukisan yang dipamerkan ada dalam buku katalog. Salah satu sebabnya, memang sudah pernah dimuat di katalog pameran sebelumnya. Juga ada lukisan yang pernah dipamerkan lantas dipamerkan lagi meskipun lukisan itu sudah laku. Tetapi ada beberapa lukisan yang dimuat di buku katalog justru tidak ditampilkan di pameran. Penyebabnya, (1) buat pameran berikutnya, (2) sudah laku, atau (3) memang sengaja melukis bukan untuk dipamerkan. Jadi memang tidak ada korelasinya bahwa melukis itu mutlak harus dipamerkan.

Selama pameran tunggalnya berlangsung, pelukis yang tetap bertahan dengan rambut gondrongnya itu asyik sendiri dengan gawainya, memencet apa saja, berbalas pesan WA atau aktif di media sosial dengan status-status yang nyelekit. Dia dengan tekun menunggui pamerannya sendiri, tidak butuh penjaga pameran yang ayu-ayu, sejak dibuka hingga gedung ditutup. Namun karena Bakrie Tower ada akses ke sebuah kafe, otomatis orang bisa saja masuk ruang pamer jam berapapun.

“Pernah tengah malam, sekitar jam dua, saya ditelepon sekuriti katanya ada orang yang tertarik lukisan,” kisahnya.

Maka bapak tiga puteri itu tidak segan-segan bangun dari hotel segera meluncur ke ruang pameran. Beli? Tidak ada urusan. Tidak usah kecewa. Siapapun yang mengapresiasi lukisannya harus dilayani sebaik-baiknya, termasuk anak-anak sekolah yang lebih suka berfoto-foto ketimbang menikmati lukisan. Banyak pelukis yang meremehkan pengunjung anak-anak sekolah, bahkan merasa terganggu, apalagi kalau ditanya “ini aliran apa?” Memang itu pertanyaan naif. Tetapi sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang, akan jadi apakah anak-anak yang sekarang masih nampak unyu-unyu itu? Siapa tahu cewek-cewek ABG yang centil-centil itu suatu ketika jadi isteri pengusaha kaya atau pejabat, pasti akan ingat dan ikut menentukan beli lukisan apa tidak. Siapa pelukis yang diingatnya? Sangat sedikit pelukis yang memperhitungkan hal kecil seperti ini.

Itulah sebabnya suami seorang guru SMA ini selalu rajin menunggui karyanya selama dipamerkan, termasuk ketika pameran bersama. Dan selama pameran itu dia sengaja menginap di hotel bukan dengan tujuan utama untuk tidur melainkan justru terus melukis. Di kamar yang tidak luas, bersih dan rapi, putera sibu bernama Djoeriah ini dengan tekunnya melukis setiap malam, dan tidak sepercikpun cat mengotori kamarnya. Padahal kalau melihat goresan-goresan di kanvasnya, seperti dilakukan dengan gerakan-gerakan besar yang ekspresif, sehingga wajar saja kalau (misalnya) catnya ikut nyiprat.

Contoh-contoh lukisan yang lahir dari “periode hotel” ini adalah beberapa lukisan berjudul Pertarungan yang menggambarkan dua ekor jago sedang bertarung. Karya-karya ini dibuat di sebuah hotel di Surabaya tahun yang lalu ketika masdibyo pameran Dua Kutup berdua dengan Gigih Wiyono di House of Sampoerna. Mengamati garis-garis ekspresif pada lukisan ini, apalagi cipratan cat ke atas kanvas, sulit membayangkan hal itu dikerjakan dalam diam.  Dan itu bisa (dan biasa) dilakukan oleh mantan guru seni rupa di Surabaya ini dalam banyak kesempatan ketika dia sedang berpameran. Baginya hotel itu adalah juga studionya.

Barangkali inilah yang disebut gerakan inner action dalam seni pertunjukan. Sebuah gerak besar dan berat namun tidak harus mengeluarkan tenaga besar. Inilah dialog dari perut seperti dalam teater, yang terdengar jelas dari jarak cukup jauh tanpa harus mengatakannya dengan teriak-teriak. Sebagaimana sebuah kegembiraan tidak harus dinyatakan dengan tertawa ngakak namun cukup dengan senyum tipis dan pandangan mata yang berbinar-binar. Sebuah kemarahan paling kejam sekalipun tidak musti dilakukan dengan membentak-bentak dan membanting apa saja, tetapi hanya dengan tatapan mata dan senyum dingin.  Bukankah seorang penguasa bisa memerintahkan pembunuhan juga cukup dengan senyum belaka. Ini fakta, bukan fiksi.

 

Kuating Katresnan

Pameran tunggal masdibyo ke-44 kali ini memilih tema “kuating katresnan” alias kekuatan cinta. Sepintas lalu tema itu diterjemahkan dalam bentuk-bentuk visual pasangan yang sedang bercinta, berpelukan, berciuman, yang uniknya kesemuanya dilukis dalam satu kanvas  dengan mengabaikan dimensi ketiga. Tak heran ada yang berkomentar teknik seperti ini mengingatkan pada wayang beber, dimana beberapa adegan dilukis dalam satu panel sekaligus. Bukankah masdibyo memang orang Pacitan, tempat wayang beber berasal? Ini tentu dilakukan dibawah sadar.

Tetapi kekuatan cinta juga dapat terjalin antara ibu dan anak, kecintaan terhadap sahabat, kecintaan hewan terhadap lingkungan yang menghidupinya, juga  induk hewan dan anaknya seperti seekor gajah yang menyambungkan belalai ke belalai anaknya. Tidak luput pula cinta seorang perempuan terhadap anak macan yang digendongnya. Karena adanya cinta itulah yang kemudian melahirkan energi yang menjadi nafas dan jiwa dalam perjalanan masdibyo mengarungi samudra hidup.

Cintalah yang dapat menghidupkan imajinasi karena masdibyo bukan tipe pelukis yang memindahkan apa yang dilihat oleh mata, bukan pelukis model atau panorama. Jangan mengajaknya melukis on the spot, percuma, karena apa yang akan hadir di kanvasnya bukan apa yang dilihatnya. Imajinasi atas nama cinta itulah yang menjadikan masdibyo (disebut orang) berganti-ganti pacar, meski ada yang ge-er lantas patah hati ketika di kemudian hari diputuskan. Bukankah ketika sedang pacaran terdapat kekuatan cinta yang membuncah?

Mengapa tidak terhadap anak dan isterinya sendiri? “Lha kalau saya bosen piye?” Jawabnya oratoris. Lagi-lagi disusul tawanya yang khas.

Lantas, apakah semua lukisannya yang dipamerkan kali ini terbingkai dalam tema “Kuating Katresnan” itu? Bukan masdibyo namanya kalau mau dibelenggu oleh batasan-batasan meski dia sendiri yang membuatnya. Kemerdekaan, kebebasan dan privasi adalah tiga hal yang yang dibutuhkan untuk mengobarkan semangat kreatifnya. Dalam pameran kali ini ternyata terdapat bermacam-macam tema lukisan yang dipamerkan. Pada sejumlah lukisan, kalau saja tidak dipajang bersama dalam pameran tunggal ini, sulit mengenali sebagai lukisan karya masdibyo. Lihatlah lukisan yang menggambarkan seperti sosok pria dari Papua itu. Kalau lukisan ini dipajang dalam sebuah pameran bersama dengan banyak pelukis, orang tidak akan percaya bahwa itu karya masdibyo.

Termasuk juga, rangkaian lukisan berjudul “Koruptor Dibuang ke Laut Diadili Ikan Laut Dalam” yang terdiri dari 6 (enam) panel. Lukisan ini pernah dipamerkan di Galeri Nasional awal tahun ini juga dalam pameran Dua Kutup dan sudah dikoleksi orang. Atas izin yang empunya, lukisan ini dipinjam dan dipamerkan kembali. Apakah tema lukisan ini sesuai dengan tema “Kuating Katresnan?” Kalau mau dihubung-hubungkan, bisa jadi begitu. Karena sedemikian kuatnya kecintaan masdibyo terhadap negeri ini maka dia menyuarakan aspirasinya seperti yang dilukiskan tersebut. Yang jelas, lantaran temanya menohok koruptor, lukisan seharga di atas satu milyar rupiah itu konon akan dihadiahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mengamati karya-karya masdibyo sebetulnya dapat ditemukan hal-hal yang jenaka, usil atau juga kreatif dalam konteks yang jarang dipikirkan kebanyakan orang. Ada seorang pelukis yang mengaku suka melukis ayam jago bertarung namun begitu melihat karya masdibyo dia mengakui “kalah kreatif”. Pada salah satu lukisan masdibyo tidak sekadar menghadirkan pertarungan ayam jago namun ada ayam ketiga yang lebih besar di belakangnya namun hanya dilukis bidang putih polos. Judulnya, “Melatih Petarung Bertarung”.

Demikian pula sebuah lukisan yang menghadirkan 7 (tujuh) lelaki saling berangkulan dan salah satunya mengenakan kaos bertuliskan angka 7. Mengamati lukisan ini mungkin orang akan mengembangkan imajinasi angka 7 tersebut. Mungkin lukisan ini menggambarkan persahabatan 7 lelaki, bahwa kekuatan cinta itu juga dapat diwujudkan dalam persahabatan dan sebagainya. Bahwa angka 7 itu melambangkan 7 hari, langit ketujuh, bintang 7 atau apapunlah. Orang bebas saja menafsirkan apa saja karena karya seni itu memang bebas tafsir, terlepas dari apakah tafsiran itu memang dikehendaki senimannya atau tidak.

Tetapi, coba tengok judulnya: “Sekuntum Bunga Putih Kecil”. Eh lhadalah ternyata memang di ujung jemari salah satu lelaki tadi ada bunga kecil putih berkelopak empat mirip melati. Orang tidak akan mudah menemukan melati itu kalau tidak mengamati judulnya. Jadi fokus lukisan ini apakah memang tentang melati?

Perihal jumlah tujuh ini juga tergambar pada karya di dekatnya, lukisan berjudul “Kumpulan Jago-jago” yang melukiskan adanya 7 (tujuh) ekor jago. Apakah angka 7 jadi spesial? Tidak juga. Sekali lagi, masdibyo tidak suka dibelenggu oleh batasan apapun, termasuk kebiasaannya sendiri. Pada lukisan berjudul “Bermain Benang Merah” tergambarkan tiga anak-anak sedang berdiri, tiga lainnya seperti dirangkul seorang ibu, jadi jumlahnya ada tujuh, semuanya perempuan. Tetapi ada satu anak laki-laki tanpa baju ikut memegang seutas benang merah. Jadi memang tidak harus tujuh.

Terkait dengan benang merah ini, juga terdapat sebuah karya yang menghadirkan tiga lelaki duduk berhimpitan dimana salah satunya agak menyandar ke sebelahnya. Judul lukisan ini adalah “Tiga Sahabat dan Seutas Benang Merah.”  Dan memang ada garis kecil berwarna merah seperti benang melintang yang dipegang ketiganya. Pertanyannya, lukisan ini tentang tiga lelaki atau tentang seutas benang? Hal yang senada juga terjadi pada lukisan berjudul “Garis Merah” yang menggambarkan seekor induk gajah dalam posisi close up dengan anaknya. Ada garis merah berupa titik-titik yang berderet panjang melintang di sepertiga bagian bawah lukisan ini. Selintas orang memang akan memperhatikan gajah, dan bukan benang merahnya, yang bisa jadi justru itulah substansi lukisan tersebut.

Pola semacam ini mengingatkan puisi “dada” karya Afrizal Malna seperti berikut ini:

Sehari

Waktu sama sekali tak ada, dada.

Bumi terbaring dalam tangan yang tidur, dada.

Ingin menjadi manusia terbakar dalam mimpi, dada.

 

Dalam puisi ini kalimat-kalimat pendahulu itu hanya untuk mengantarkan makna kata “dada” saja. Orang tak perlu fokus pada kalimat “waktu sama sekali tak ada…..” namun setelah kalimat itu ada kata “dada” itulah yang penting. Analog dengan lukisan masdibyo, justru melati atau benang merahnya itulah yang penting, sedangkan tampilan lainnya adalah sebuah pengantar untuk mencapai yang inti itu. Dan frasa “benang merah” itu memiliki makna konotatif terhadap sesuatu yang sangat penting yang menghubungkan satu sama lainnya. Seperti dalam kalimat “benang merah dari peristiwa ini adalah…….”

Masdibyo memang suka usil, mbethik kata orang Jawa. Namun justru itulah yang menjadikannya kreatif sehingga tidak pernah kekurangan bahan untuk melukis. Sebuah lukisam menggambarkan dua kucing sedang berhadapan, meski posisi kepala kucing yang satu seperti menghindar dari tatapan. Diantara keduanya tersebar percikan cat seperti visualisasi ributnya suara ketika dua kucing bertemu, khususnya ketika akan kawin. Kaki salah satu kucing itu seperti menginjak sesuatu sambil mengeong keras, sementara kucing satunya menghindar dengan posisi berdiri di atas dua kaki belakang.

Hal ini mengingatkan sketsa karya Lim Keng yang mengandung “gerak dan beban” maka lukisan ini mengandung “gerak dan suara”. Jika diamati, teknik melukis kedua kucing itu bukan dengan membuat garis tipis sebagai batasan bagian luar badannya, namun keseluruhan badannya itu adalah sebuah garis tebal. Bahwa yang namanya garis tidak harus tipis melainkan bisa setebal badan kucing. Sebab seluruh badan kucing itu memang hakekatnya merupakan satu garis saja. Artinya, kalau bagian kepalanya berhasil memasuki sebuah lubang, maka loloslah seluruh tubuhnya.

Lukisan ini berjudul “Dialog Kucing” sebagaimana tertulis di buku katalog. Tetapi pada kartu judul yang tertempel di sketsel ada tambahan kalimat “ada apa dengan matamu meong?” Dan ternyata kedua mata kucing yang wajahnya nampak frontal itu tergambar warna mata yang berbeda. Yang satu hijau, mata satunya lagi putih.

Kenakalan kecil yang menunjukkan seorang masdibyo ingin bebas melakukan apapun adalah dengan cara meletakkan tanda tangannya dimana saja, tidak harus di posisi kanan bawah sebagaimana lukisan pada umummya. Bisa di samping, di atas atau malah berada di tengah-tengah lukisan. Bebas saja, tanpa menimbulkan gangguan apapun.

Bermain-main dengan isu kecil diantara isu besar itulah yang dilakukan masdibyo dengan suka cita, santai dan sambil bergembira tanpa beban apa-apa. Beberapa lukisam pohon dengan tampilan close up batang-batangnya yang besar ternyata ada burung kecil hinggap di rantingnya. Pertanyaannya sama dengan sebelumnya: “Ini soal pohon apa soal burung kecil?”

Tetapi ada sebuah lukisan gajah yang sengaja dibuat sesak dengan bagian belakang dan kepalanya persis di batas kanvas. Gajah itu seperti berada di sebuah kotak sempit. Tetapi setelah membaca judulnya: “Noda di Seberang Lautan Tampak, Gajah di Pelupuk Mata tak Tampak”, maka perhatian saya justru mencari tahu dimana noda yang dimaksudkannya. Oo ternyata ada di bagian atas punggung gajah, ada lengkungan kuning tipis dan sebuah noktah putih di tengah sisi atasnya. Nah kalau mengacu ke judulnya, makna yang tertangkap malah terbalik, “gara-gara melihat gajah (persoalan makro) di hadapan mata maka sesuatu yang kecil (tapi penting) di kejauhan jadi tak terlihat.” Ah sudahlah, itu soal tafsir.

Soal judul lukisan ini memang ada kalanya membantu apresian untuk memahami makna lukisannya, tetapi juga bisa membelokkan maknanya. Malah ada pelukis yang sengaja tidak mau terikat judul, seperti Makhfoed (baru saja meninggal dunai, semoga damai diSANA) yang memberi judul semua lukisannya dengan kata “Perjalanan”.

Dalam pameran ini yang juga sangat menarik adalah lukisan gajah yang menyembur-nyemburkan lumpur dari belalainya. Judulnya sangat pas, “Mandi Lumpur”. Berada di dekat lukisan ini seolah-olah baju kita kuatir ikut kotor kena semburan lumpur. Juga lukisan “Pose Gadis Hitam” yang sangat ekspresif di bagian pinggulnya yang seperti berada di pancuran air yang tak bersih.

Dari pameran kali ini setidaknya menunjukkan fakta bahwa seorang masdibyo memang tidak ingin terpola oleh gayanya sendiri. Kalau ada yang tanya, masdibyo yang mana? Yang lukisannya seperti apa? Sulit menjawabnya, sebab masdibyo bisa melukis apa saja. Dia sudah menjelajahi titik, garis, bidang, warna dan bentuk secara bersama-sama atau sebagian diantaranya atau juga sendiri-sendiri. Pada kesempatan ini saja seperti melihat berbagai gaya lukisan masdibyo, termasuk yang berbau kubistis atau juga yang nonfiguratif. Karena itu ketika ada yang menantangnya pameran tunggal dengan tema abstrak semua, “siapa takut?”

Apapun yang dihadirkan masdibyo dalam kanvasnya kekuatannya adalah pada tema. Karya-karyanya memiliki tema-tema tersendiri yang khas, unik, kreatif, yang remeh namun penting, yang kecil-kecil namun bermakna besar. Masdibyo adalah pelukis yang nggelithis (tidak bisa diam) sebab diamnya adalah juga bergolak, diamnya adalah pemberontakan, diamnya masdibyo adalah gerak tanpa gerak. Bukankah gerak paling hakiki adalah ketika dalam keadaan diam? Perhatikan gerak diam penari Topeng Losari yang tak bergerak sama sekali pada tahap-tahap awal selama sekian lama, sementara musik dinamis bertalu-talu.

Atau juga, gerakan dalam tari Bedhaya Ketawang yang amat sangat pelan sebagaimana gerak bintang-bintang di langit. (Hanya bintang jatuh yang terlihat geraknya). Sebab Bedhaya Ketawang berarti tarian langit yang menggambarkan gerak bintang-bintang, sehingga gerakan para penarinya amat sangat pelan. Jadi jangan anggap remeh sesuatu yang diam, seolah tak bergerak, sebab dalam diam itu ada gerakan yang tak tertangkap indera manusia.

Masdibyo adalah pelukis yang terus menerus bergerak dalam diam, namun pada ketika yang sama dia sedang diam dalam seluruh gerakannya. Seperti Meditasi Vipasana, dimana seluruh gerak adalah Samadhi. Begitulah. (*)

 

Tinggalkan komentar