Catatan Pengalaman Umrah (11): Umrah Kok Mikir Sandal Hilang….

Pedagang berbusana hitam yang tangguh

Pedagang berbusana hitam yang tangguh

Bahwa ibadah haji, juga umrah, identik dengan sesuatu yang suci, yang jauh dari perbuatan kriminal. Itu sebabnya rata-rata jamaah bersikap pasrah, menurut saja apa yang diperintahkan dan sudah menjadi aturan yang diberlakukan. Bahkan, ada anggapan bahwa berada di tanah suci Madinah dan Makkah pasti bebas dari pencurian dan tindakan kriminal lainnya. Apa benar begitu? Benarkah ada copet yang tega-teganya menjadikan orang thawaf sebagai sasaran? Sandal saja bisa hilang kok…..

Ketika saya ikut manasik, sudah pagi-pagi diperingatkan, jangan membawa barang berharga keluar hotel. Bawa uang secukupnya saja. Simpan saja di koper yang ada di hotel. Sebab meski ada di Makkah, bahkan juga sedang thawaf, bukan tidak mungkin akan menjadi sasaran pencopet. Hal ini karena tidak semua orang yang datang ke tanah suci memiliki niat dan hati yang suci pula. Di masjid Nabawi, Masjidil Haram atau dimanapun berada, pasti ada orang yang memiliki niat tidak baik.

Dalam buku panduan umrah itu juga disebutkan, hampir setiap hari petugas keamanan (askar) masjid menemukan dompet kosong milik jamaah. Bahkan suatu waktu kalau jamaah melihat ada copet yang tertangkap askar, itu berarti copet masih berkeliaran di sekitar masjid. Kalau kita tidak waspada, pasti kita juga akan menjadi korban atau sasaran mereka. Tindakan pencurian ini biasanya dilakukan pada saat Thawaf, Sa’i atau ketika banyak orang bergerombol dalam satu tempat.

Di sekitar Hajar Aswad juga rawan pencurian. Banyak yang menyarankan kalau berniat mencium Hajar Aswad jangan membawa apapun kendati hanya jam tangan. Kalau tiba-tiba menjadi korban kecopetan, segeralah lapor pada pembimbing.

Informasi terbaru, tahun ini juga ada modus perampasan baru di Arab Saudi, yaitu perampasan tas jamaah. Perampasnya menggunakan sepeda motor seperti yang banyak dilakukan oleh perampas tas di Indonesia. Ada pula yang melakukan dengan modus menyilet tas cangklong atau tas punggung yang dibawa para jamaah. Kalau uang atau barang yang hilang mungkin tidak seberapa, karena masih bisa meminjam jamaah lain dari satu rombongan, tapi kalau yang hilang adalah surat penting seperti paspor, maka urusannya akan panjang dan runyam. Karena tanpa paspor, jamaah tidak akan bisa keluar dari Arab Saudi.

Lantaran baru pertama kali umrah, saya camkan betul peringatan itu. Meski saya tidak percaya dan sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa di tanah suci bisa ada kriminalitas seperti itu. Bukankah di Arab berlaku hukum yang tegas, bahwa mencuri akan dihukum potong tangan? Benarkah kondisi di tanah suci sekarang ini sudah sampai pada tingkat segawat itu? Apakah para pencuri itu sudah tidak takut lagi dipotong tangannya? Apa mereka memiliki tangan cadangan? Jujur saja, saya malah menjadi waswas ketika mulai masuk Madinah dan Makkah, terutama ketika berada dalam kerumunan orang banyak. Saya menjadi selalu bersikap curiga terhadap siapa saja yang menurut saya berpotensi untuk melakukan kejahatan, betapapun kecilnya. Dan hal itu malah mengusik ketenangan selama menjalankan ibadah umrah ini.

Ketika masih berada di Madinah, suasananya aman-aman saja. Lokasi hotel dengan masjid Nabawi lumayan dekat, jalanan yang lebar dan trotoar yang lapang. Tidak pernah berdesak-desakan berangkat dan pulang ke masjid. Satu-satunya kondisi berdesakan adalah ketika berebut masuk ke Raudlah. Orang-orang memang berdesakan dengan tubuh saling berhimpitan, sehingga kalau itu terjadi di Bungurasih, pasti dompet sudah melayang, atau tas sudah robek kena silet. Saya membatin, “Duh Gusti, apakah saya juga harus waswas kuatir dicopet ketika berada dalam tempat yang sangat suci ini? Ampuni aku kalau sempat terbersit kekhawatiran itu”.

Gara-gara perasaan takut kehilangan itulah maka ketika pagi pertama masuk ke masjid Nabawi saya sudah waswas takut sandal hilang. Lebih-lebih tas kecil yang selalu saya bawa itu seperti menjadi beban tersendiri. Bingung meletakkannya saat sembahyang. Mau ditaruh di samping nanti mengganggu jamaah di sebelah. Kalau ditaruh di depan, nanti tidak bisa sujud. Belakangan saya tahu bahwa space untuk sholat di sana sudah disesuaikan ukuran tubuh tinggi besar, tidak seperti di tanah air, sehingga masih ada ruang untuk sekedar menempatkan tas kecil di depan saya sholat.

Karena itu saya memilih sholat di dekat tempat sandal sehingga juga bisa menaruh tas di situ. Memang banyak disediakan rak-rak kecil tempat sandal di berbagai penjuru masjid. Semua rak yang bentuknya seragam itu diberi nomor dalam angka Arab dan Latin, untuk memudahkan mencarinya. Sementara rak besar terdapat di dekat pintu masuk. Hal yang sama juga saya temukan di Masjidil Haram. Celakanya, ketika sholat akan dimulai, shaf di depan ada yang kosong, dan saya diminta maju, bahkan pernah sampai dua shaf ke depan. Akibatnya, posisi tas menjadi di belakang, tidak bisa saya awasi. Duhh…. kok saya jadi mikir hal-hal yang remeh begini yaaa?

Kecemasan saya agak berkurang karena sejak mendarat di Jeddah semua paspor sudah diminta oleh pembimbing. Dalam tas kecil yang saya cangklong kemana-mana itu terdapat buku petunjuk umrah dan kumpulan doa-doa, buku Yasin, dompet, handphone, kamera saku dan amplop berisi uang reyal. Entah kenapa, saya merasa lebih sreg membawa semuanya ketimbang ada yang ditinggal dalam koper di kamar hotel misalnya. Meski tidak termasuk paspor, kalau tas itu sempat hilang yaa pasti bikin saya sangat susah. Apalagi ada surat-surat penting dalam dompet.

Kecemasan saya makin menjadi ketika hari pertama berada di Makkah, sudah melihat ada beberapa askar yang meringkus seorang lelaki tanpa baju, dibawa ke atas pick up, entah kemana. “Itu pasti copet yang tertangkap,” kata saya pada isteri. Tepatnya, saya menduga demikian. Ketika masuk masjid, mau menaruh sandal saja sudah tidak tenang. Saya bungkus tas plastik, dan saya masukkan saja ke dalam tas yang saya bawa. Lagi-lagi saya terganggu oleh perasaan seperti ini: “Masak jauh-jauh pergi umrah malah sibuk ngurusi sandal khawatir hilang”.

Ketika sebelum berangkat umrah, saya sudah dipesan oleh adik saya agar jangan sembarangan memakai sandal orang lain. Kalau misalnya sandal kita hilang, ya sudah, jangan pakai sandal orang lain. Mending tidak usah pakai sandal sama sekali. Nanti beli lagi. Bisa jadi, sandal hilang itu bukan karena dicuri, tetapi ditendang jamaah ketika keluar masjid sehingga terlempar jauh dari posisi semula. Memang saya sering menemukan banyak sandal berserakan di halaman masjid, tersaruk kesana kemari, dan entah mau diapakan sandal-sandal tersebut. Mungkin diangkut tukang sampah dan dibuang.

Kecemasan sandal hilang ini bisa jadi akibat stigma yang ada di tanah air, bahwa kemungkinan sandal hilang di masjid itu sudah biasa. Makanya banyak orang yang ke masjid cenderung lebih suka mengenakan sandal yang jelek ketimbang sandal bagus tapi khawatir hilang. Hanya saja, bisa jadi ada orang yang “mencuri” sandal bagus itu karena berprinsip; “ambillah yang baik, tinggalkan yang jelek.” Hehe.. itu anekdot plesetan isi khotbah.

Saya tidak tahu, apakah kecemasan sandal hilang itu berlebihan? Apakah keberadaan di tanah suci tidak bisa menjadi jaminan bahwa semuanya aman? Apakah peringatan yang disampaikan dalam buku petunjuk umrah sebagaimana kutipan di atas memang betul-betul (pernah) terjadi? Ataukah, itu hanya tindakan preventif saja? Sungguh sulit menenangkan perasaan kecemasan yang sabetulnya tidak penting ini. Bisa saja saya bersikap pasrah-srah, ilang yo wis. Berdoa saja, semoga tidak hilang.

Sampai suatu ketika, saya sedang berdiri di depan pintu masjid, menunggu isteri yang masih ada di dalam. Sementara sepasang sandal istri saya persis ada di tengah kedua kaki saya berdiri. Apa yang kemudian terjadi? Tiba-tiba ada seorang wanita berbusana hitam dan bercadar enak saja mengambil sandal istri saya dan berlalu. Saya spontan mengejarnya, “eiit… eitt…” Lantas dia santai saja mengembalikan sandal tersebut. Kemudian dia ganti mengambil sandal lain di depannya. Lho, apakah ini yang namanya pencurian sandal? Jadi memang pencurian sandal betul-betul terjadi, bukan hanya kekhawatiran belaka?

Sandal putih milik isteri saya ini memang sudah jadi cerita sejak di Madinah. Katanya, sandal itu sengaja dibelikan adiknya untuk umrah. Harganya lumayan mahal, di atas seratus ribu rupiah. Ketika berada di hotel Madinah, sandal itu sempat hilang ketika tanpa sengaja ditaruh depan kamar temannya. Waduh, kemana musti mencari? Sudah saya bantu bertanya pada petugas cleaning service ternyata tidak ketemu. Sampai akhirnya, keesokan harinya sandal itu sudah kembali lagi di tempat yang sama.

Ahh.. kok saya jadi cerita soal sandal ya? Rasanya gak penting-penting amat. Itu hanya ilustrasi soal kecemasan kehilangan selama menjalani umrah ini. Cerita bahwa pencuri itu dipotong tangannya kalau ketahuan, sudah lama saya dengar. Tapi saya tidak tahu sendiri, apakah memang betul seperti itu. Hanya saja, setiap hari saya selalu melihat anak-anak remaja berkulit hitam, berpakaian hitam-hitam, tiduran atau duduk di tengah jalan, mengemis. Saya perhatikan, banyak yang tangan atau kakinya dalam kondisi terpotong. “Ya mereka itu yang pernah mencuri, makanya tangannya dipotong,” ujar seorang teman. Namun saya menjadi geli sendiri ketika saya lihat ada beberapa pengemis yang sengaja menekuk lengannya, disembunyikan di bajunya yang longgar, sehingga terlihat seperti cacat. Halah, akal-akalan jaman lama. Tapi bagaimana dengan yang terpotong sebatas pergelangan tangan?

Saya tidak tahu, kenapa kesan saya terhadap wanita-wanita berkulit hitam berbaju hitam itu kurang simpatik, khususnya yang menjadi pengemis itu. Termasuk yang cacat atau berpura-pura cacat tersebut. Ada yang menyebut mereka adalah Suku Baduy, tapi yang jelas bukan Badui di Banten itu. Banyak juga yang menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL). Sebagai PKL, saya lihat mereka cukup tangguh, setidaknya dalam upayanya menawarkan dagangan mereka dalam bahasa Indonesia yang mungkin hanya kalimat itu saja yang dikuasai. “Ayo Haji… Hajjah…. lima reyal, lima reyal…..” Kadang saya temui mereka berlarian kabur menyelamatkan diri lantaran diobrak askar.

Ada cerita dari teman sekamar saya yang sudah pernah pergi Haji tiga kali. Katanya, bisa jadi yang mengenakan jubah hitam dan bercadar itu bukan perempuan, tapi laki-laki. Mereka menyamar agar bisa masuk ke toilet perempuan dan melakukan pelecehan seksual. Dia juga mengingatkan kalau kita naik taksi bersama isteri, jangan sekali-sekali isteri dibiarkan turun belakangan. Jadi kalau mau naik taksi laki-laki lebih dulu, sementara kalau mau turun isteri yang lebih dulu. Kalau tidak, bisa jadi sopir taksi langsung pergi begitu isteri kita sendirian di taksi tanpa suaminya. Saya tidak bisa mengakui atau membantah cerita seperti ini.

Yang jelas, saya jadi teringat bahwa berbusana hitam-hitam dan bercadar ini memang bisa dimanfaatkan untuk penyamaran. Pernah saya baca di koran, para “teroris” yang diburu-buru Densus 88 itu juga ada yang menyamar dengan berbusana seperti ini. Mereka laki-laki, namun berbusana seperti itu agar dikira perempuan. Bagi saya, jangankan laki-laki yang menyamar, perempuan yang mengenakan busana seperti itu saja sulit membedakan satu sama lain, kecuali tinggi dan kira-kira besar badannya. Saya bayangkan, apakah suaminya bisa tahu ya kalau misalnya isterinya tertukar oleh perempuan lain yang tinggi dan bentuk tubuhnya sama? Saya sendiri pasti kesulitan membedakannya.

Sementara itu, saya juga banyak melihat wanita-wanita berjubah hitam, bercadar, namun terlihat cantik meski hanya saya lihat sorot matanya saja. Hanya melihat sorot matanya saja saya sudah bisa membayangkan kira-kira kecantikannya. Sebab sorot mata mereka terlihat tajam, sangat berbeda dengan para Baduy yang mengemis itu. Ada diantara perempuan itu yang tanpa cadar, subhanallah, luar biasa kecantikannya. Hidung mancung, kulit bersih, tubuh tinggi, dan saya tidak bisa menilai badannya lantaran berjubah sangat longgar. Saya kadang malu sendiri ketika tanpa sadar terpesona memandangnya beberapa detik. Astaghfirullah……

Beruntunglah selama ibadah umrah ini, saya dan juga semua peserta dalam rombongan saya tidak ada yang kehilangan apapun karena kecopetan atau semacamnya. Ketika berdesak-desakan hendak mencium Hajar Aswad pun tas cangkong saya bawa sedemikian rupa sehingga aman-aman saja. Paling-paling talinya putus karena ketarik-tarik banyak orang. Arloji juga masih ada di pergelangan tangan. Hanya kacamata yang sempat hampir jatuh karena berdesakan. Lantas saya copot saja. Kalau toh isteri saya kehilangan sepasang kaos tangan, tentu itu bukan karena kecopetan. Juga tas pembungkus mukena. Gak perlu disesali, malah isteri saya bilang, “biar bisa dipanggil ke sini lagi…”

Kecuali, persis hari terakhir di Makkah, sepulang dari thawaf wada’. Karena sudah hendak check out, maka kami berpikir tidak perlu membawa kursi roda milik Yang Ti ke kamar. Cukup diletakkan saja di lobby. Sementara kami semua sibuk menurunkan barang-barang dari kamar hotel di lantai atas. Tanpa disadari, tahu-tahu kursi roda sudah tidak terlihat lagi di lobby. Entah kemana. Petugas hotel tidak bisa menjawab, karena memang banyak orang keluar masuk, termasuk pengemis.

Jadi anggapan umum bahwa Tanah Suci itu bebas kriminalitas memang tidak sepenuhnya terbukti. Demikian juga anggapan bahwa ibadah haji bebas korupsi. “Lha wong pembuatan Al Qur’an saja dikorupsi kok,” itu sudah jadi guyonan populer. Departemen Agama tidak lagi identik dengan institusi yang suci, meski membawa nama-nama “agama” segala. Rata-rata jamaah haji (juga umrah) tidak akan pernah bertanya, kenapa mereka harus membayar uang dengan jumlah tertentu, untuk apa saja. Kalau toh untuk Haji harus menabung dulu, entah dikemanakan bunga tabungan yang terkumpul belasan tahun itu.

Jadi sepertinya, ini kesimpulan saya, selama menjalani umrah ini adalah harus menyeimbangkan antara perasaan pasrah kepadaNYA dengan sikap waspada terhadap keselamatan diri sendiri. Ibaratnya, meski kita sudah pasrah total, bisa saja tertabrak mobil di jalan kalau tidak hati-hati. Juga kecopetan. Menyeimbangkan perasaan ini penting, meski tidak gampang, agar ibadah umrah tidak terganggu oleh hal-hal kecil yang bersifat duniawi. Meski sebetulnya hal ini bukan hanya terjadi saat umrah atau ketika berada di tanah suci. Di rumah sendiripun kejadian seperti itu seringkali ditemui. Misalnya saja ada pengemis atau pengamen datang ke rumah, kita bisa saja berprasangka baik kemudian memberi uang receh sekadarnya. Tapi bukankah sering ada kejadian pengemis dan pengamen yang berbuat kejahatan? Itu sebabnya bisa dimaklumi kalau banyak kompleks perumahan yang melarang pengemis dan pengamen, juga pemulung, masuk ke kompleks itu.

Pernah dengar kejadian uang kotak amal di masjid dikuras pencuri? Ini sudah sering terjadi. Bukan hal yang mustahil lagi bahwa ada pencuri yang tega-teganya mencuri uang receh di kotak amal tersebut. Kejadian yang sama juga beberapa kali terjadi di mushola waqof di belakang rumah saya. Ada orang yang berniat sholat dluha, katanya, tahu-tahu kotak amal sudah terkuras isinya ketika dia pergi. Bahkan ada yang “menyamar” ikut sholat berjamaah agar bisa “menggambar” tingkat keamanannya. Terbukti, kotak amal pernah terkuras juga meski pintu dan jendela sudah ditutup. Ternyata ada jendela yang tidak terkunci rapat meski sudah ditutup. Diduga, pencuri masuk dan keluar dari jendela itu. Makanya saya menolak ketika ada beberapa orang yang malam-malam mengaku hendak i’tikaf di musholla. Demikian pula begitu kalau melihat ada orang masuk halaman rumah saya, katanya berniat ingin sembahyang di musholla diluar jam sholat wajib, saya dan isteri saya, juga anak-anak saya, menjadi curiga: Jangan-jangan dia hendak mencuri…. Duhhh… bukankah prasangka buruk ini saja sudah dosa yaa…?

Ketika berada di masjid Nabawi, tanpa sadar kadang-kadang saya tengak-tengok mencari kotak amal lantaran ingin shodaqoh sebagaimana kebiasaan di tanah air. Ternyata di masjid-masjid Makkah dan Madinah memang tidak ada kotak amalnya. Tidak ada yang bisa dijadikan sasaran pencuri, sehingga lantas mengincar barang milik jamaah masjid. Beruntunglah para petugas kebersihan yang terlihat bekerja 24 jam itu, menyapu dan mengepel, lantaran mereka sering menjadi sasaran amal jariah dari jamaah masjid. Saya pun meniru cara itu, meski hanya pecahan satu reyal yang saya bagikan ke mereka. Begitu saya memberi seorang penjaga dari amplop, tahu-tahu beberapa temannya datang merubung. Kebetulan di amplop itu sudah habis isinya, meski tanpa saya sadari ada diantara mereka yang saya beri uang 10 reyal. Nasib baikmu lah…

Sikap waspada untuk menghindari kecopetan ini nampaknya sudah diantisipasi sedemikian rupa oleh para jamaah. Biasanya ibu-ibu, juga ada sebagian laki-laki, tidak berani menyimpan uang di dompet, melainkan di kantongan khusus yang ada di perut. Desain bajunya sudah disesuaikan sedemikian rupa sehingga ada kantong lumayan longgar untuk menyimpan uang jumlah banyak. Orang-orang Arab, khususnya pedagang, nampaknya sudah tahu letak tempat rahasia itu. Makanya ketika isteri saya mencoba menawar anting-anting di toko emas, penjual langsung tidak percaya ketika kami bilang tidak punya uang cukup. Sudah kami tunjukkan amplop tempat uang reyal. Namun pedagang itu ingin memegang perut istri saya sambil berkata: “Doktor… Doktor…..” Semula saya tidak paham, saya kira dia menganggap isteri saya mengandung dan ingin memastikannya. Ternyata dia ingin meraba kantong rahasia yang sebetulnya memang tidak ada di baju isteri saya itu.

Ada cerita dari adik saya, bahwa temannya sengaja membawa uang (kalau dikurskan) sampai tiga puluh juta rupiah di kantong rahasia itu. Dia memang ingin membeli perhiasan emas. Nampaknya sikapnya sedemikian jumawa lantaran dia kaya, membawa banyak uang, dan over protected menjaga hartanya. Ketika berada di kamar pun dia sangat waspada menjaga kopernya. Kunci kamar dia yang pegang. Dan dia selalu memilih paling akhir keluar kamar. Sepertinya teman sekamar sendiripun sudah dalam pantauan kecurigaannya. Apa yang terjadi? Tahu-tahu uangnya di kantong rahasia yang ada di baju bagian dalam itu lenyap ketika berada di kerumunan. Padahal tidak ada tanda-tanda sobek atau kecopetan. Ajaib? Entahlah.

Lagi-lagi saya bersyukur karena tidak membawa banyak uang. Tidak bingung belanja, tidak takut kecopetan. Meski sedikit khawatir juga kehilangan barang penting. Ada peserta dalam rombongan kami, ibu-ibu yang sudah menghabiskan uang sangu 10 juta rupiah. Lantas dia minta izin (tepatnya memberi tahu) suaminya, bahwa dia “menggesek” lagi 4 juta rupiah. Anaknya lantas mengingatkan, “Mama konsentrasi ibadah saja, jangan shoping melulu…..” Kepada suaminya pun sepertinya dia minta dimaklumi. Maka terjadilah dialog seperti ini via telepon:
“Ya sudah Pak, nanti gaji saya dipotong saja yaa…”
“Lho, memangnya kamu bekerja apa?”
“Saya kan tiap hari memasak, menjaga anak-anak dan sebagainya. Itu kerja kaan…”
“Ya sudah, nanti uang belanja saya potong…”

Bagaimana menurut sampeyan?

Bersambung

Satu Tanggapan

  1. ass,sy ingin berbagi sedikit cerita pak.tepatnya pada bulan puasa tahun 2014 kmrn,kami sekeluarga umrah.ketika setelah pulang shalat jumat dari masjidil haram sy terpisah dari ayah dan adik2 saya.saya memutuskan untuk pulang ke hotel sendirian karena cuacanya sangat panas dan badan terasa sangat capek.karena cuaca panas saya memakai sorban yang menutupi wajah,dah saya memakai kacamata hitam.selama umrah saya memakai tas sandang kecil berisi dompet,pasport,kamera digital dll.ketika saya jalan pulang ke hotel,tepatnya di depan toko serba 5 riyal,ada wanita paruh baya ( sepertinya pengemis) yang memanggil2 saya,dengan panggilan malaysia..indonesia,tetapi saya cuekin saja karena badan sudah sangatlah lelah,terlebih lagi inilah pengalaman pertama saya berpuasa di negri arab,yang suhu udara waktu itu tembus 52 c .setelah saya cuekin tertanya si ibu2 itu lari mengejar saya dan menarik2 baju.saya tetep cuek saja krn saya tidak paham bhs arab,kira2 2 mnit setelah itu,saya baru sadar dan mengecek tas sandang bawaan saya,stlh sy lihat reseletingnya sdh k buka,setelah di cek kamera ditigal saya hilang.sy beramsumsi klu kamera itu ketinggalan di hotel,tp setelah di cek lagi,ternyata memang hilang.
    untuk itu sy mau mengingati klu membawa tas kecil model selempang jgn pernah menempatkan posisi tas itu di belakang kita ( punggung),usahakan selalu d depan perut,karena walaupun di tanah haram kriminalitas tetap ada.wasalam

Tinggalkan komentar