Kritik Sosial dalam Ludruk

Catatan Pengamatan Pementasan Bandit Blandong Wiroguno, Ludruk Wahyu Budaya Lamongan di Taman Budaya Jawa Timur, 28 Mei 2011

Oleh Henri Nurcahyo

Mangan sepur lalap truck gandhengan
Anak pitik dipangan wulung
Nek wong ndhuwur-ndhuwur seneng gegeran
Dadi wong cilik tambah bingung

Itulah kidungan pertama yang dilontarkan ludruk Wahyu Budaya dari Lamongan dalam pementasan di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) Sabtu malam (28/5). Sebuah kidungan yang menyentak, justru pada kesempatan pertama. Sampiran pada kidungannya saja sudah “absurd” dan isinya menyuarakan keprihatinan rakyat kecil terhadap prilaku elit negeri. Dan tawa yang kemudian pecah adalah tawa yang satir, sebuah ekspresi menertawakan (nasib) diri sendiri sebagai rakyat kecil yang tak berdaya berhadapan dengan para pembesar negara. Baca lebih lanjut

Ludruk Rasa Ketoprak

Catatan Pementasan “ Asal Usul Reyog Ponorogo “ Ludruk Suro Menggolo, Ponorogo Taman Budaya Jawa Timur – 23 April 2011

Oleh Henri Nurcahyo

Perbedaan mencolok antara ludruk dan ketropak adalah sajian ceritanya. Ketoprak biasa menampilkan cerita seputar keraton, para raja dan bangsawan dengan dialog bahasa Jawa Mataraman. Sedangkan ludruk lebih bernuansa kerakyatan dengan cerita seputar kehidupan sehari-hari, legenda atau cerita rakyat, dengan dialog yang egaliter. Lantas, bagaimana jadinya kalau ludruk menghadirkan cerita kerajaan dengan dialog cenderung Mataraman? Itu namanya Ludruk Rasa Ketoprak. Baca lebih lanjut