Catatan Pengalaman Umrah (14): Taubatan Nasuha

IMG_4957Satu hal penting yang menjadi motivasi kuat saya dalam ibadah umrah adalah melakukan taubatan nasuha. Taubat alias tobat yang benar-benar murni dan tulus, dan bukan kapok lombok (tobat dan kumat lagi). Tetapi benarkah saya telah betul-betul taubat? Bukankah selama ini saya sudah berulangkali menyatakan tobat namun ternyata mengulangi dosa lagi? Sampai seberapa kuat pernyataan tobat itu mampu mengekang saya untuk tidak berbuat dosa lagi? Sampai kapan? Jangan-jangan setelah euforia umrah berlalu, saya kumat lagi. Naudzubillah min dzalik.

Saya sadar, bahwa tidak satu manusia pun di alam ini yang terbebas dari dosa walaupun kecil, dosa kepada Khalik maupun kepada makhluk. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram. Lidah sering berbicara tidak benar, berdusta, menuduh, ghibah, mencela dan lain lain. Telinga suka mendengarkan musik dan lagu yang haram. Tangan suka menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya, memukul atau kejahatan lainnya. Kaki kadang melangkah ke tempat-tempat maksiat dan seterusnya.

Dan saya juga sadar, bahwa Allah SWT dengan rahmatnya kepada hamba-hamba-Nya selalu memberikan kepada mereka yang berbuat dosa kesempatan untuk bertaubat dari segala dosa dan kesalahan. Allah selalu membukakan pintu taubat-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat selama ruhnya belum berada di kerongkongan atau matahari terbit dari barat.

Saya temukan beberapa ayat dalam Al Qur’an yang menyatakan soal taubat ini. Diantaranya adalah: ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At Tahrim : 8)

Dan yang menarik, ada juga hadits seperti ini: Dari Agharr bin Yasar AI-Muzani, ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Wahai manusia!, bertaubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali ” (HR. Muslim). Seratus kali? Manusia suci seperti Rasulullah itu saja masih merasa perlu bertobat seratus kali sehari? Saya tidak berani membandingkan dengan diri saya sendiri.

Karena itu umrah ini adalah sebuah kesempatan emas yang tidak boleh saya lewatkan. Apapun konsekuensinya. Saya betul-betul ngeri kalau membaca kutipan ini: “Dan kalau manusia mengabaikan soal taubat ini, lengah menggunakan kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allah nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan dan kepedihan di padang Mahsyar. Tak ubahnya seperti orang yang kehausan padahal di depannya ada mata air bersih, namun ia tidak bisa menjamahnya, hingga datanglah maut menjemputnya sesudah merasakan penderitaan haus tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan pendurhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar, tetapi mereka tidak mau memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, tetapi mereka tetap berjalan di jalan kesesatan. Kalau tanda-tanda Kiamat sudah tampak yakni matahari terbit dari arah Barat, kematian sudah di ambang pintu yakni nyawa sudah di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima.”

Jujur saja, setiap kali ada keinginan menjalankan ibadah umrah (apalagi kalau keturutan Haji), saya sepertinya dihadapkan pada situasi, bahwa saya seolah-olah masih “tidak rela” menghentikan perbuatan dosa saya. Barangkali itulah bisikan setan (sekadar mencari kambing hitam?) supaya saya tidak sesegera mungkin memutus rantai perbuatan dosa dan segera masuk pintu taubat. Kalau saja kali ini bukan teman saya yang mengajak umrah, kalau saja dia tidak membiayai ongkos umrah untuk saya, maka saya tidak akan “dipaksa” untuk mengeluarkan dana bagi biaya umrah isteri saya. Lagi-lagi, mungkin ini yang disebut “panggilan” sehingga apapun alasannya, maka seseorang menjadi bisa berangkat umrah atau haji justru dalam situasi yang sama sekali diluar perkiraannya.

Keputusan untuk berangkat umrah itu hanya sekitar satu bulan (lebih sedikit) sebelum keberangkatan. Sejak itu saya selalu dirundung was-was dan dibayang-bayangi dosa yang saya perbuat selama ini. Saya seperti hendak memasuki sebuah ruang sidang dimana semua dosa-dosa saya akan dibeberkan secara terbuka. Saya seperti akan ditelanjangi habis-habisan dan akan menerima hukuman selama di sana. Banyak orang yang cerita, bahwa orang yang menjalankan umrah atau haji akan mengalami kejadian yang tidak mengenakkan sesuai dengan perbuatan jeleknya selama ini. Sekadar contoh kecil, ada saudara saya yang dibuat kesal dengan orang yang sering meludah di dekatnya selama di tanah suci. Ternyata, selama di tanah air dia sering marah-marah kalau ada orang yang meludah di dekatnya. Contoh kecil lainnya, isteri saya sendiri, gara-gara dia masih memendam amarah terhadap tetangga akibat pertengkaran kecil, maka selama umrah dia selalu menemui orang yang bertengkar di dekatnya.

Itu hanya contoh kecil, sudah menunjukkan dampak langsung dari kesalahan kecil yang diperbuat ketika berada di tanah air. Lantas, bagaimana kalau sebelum berangkat umrah sudah melakukan dosa atau kesalahan yang lebih besar? Balasan seperti apakah yang bakal menimpa sesampainya di tanah suci? Maka ketika pesawat sudah memasuki kawasan Arab Saudi, saya melihat hamparan padang pasir dengan bukit-bukit batu berserakan dimana-mana. Tiba-tiba saya merasa seperti melihat sebuah hamparan pasir panas yang bakal saya injak. Saya membayangkan permadani panas bakal menyambut telapak kaki saya begitu mendarat di Jeddah. Nyali saya ciut. Namun saya berusaha menghibur diri dengan berkata-kata pada isteri, “kita sudah sampai di Arab lho….” Saya tahu persis, sebetulnya isteri sayalah yang amat sangat berkeinginan bisa menjalankan umrah ini. Sementara saya malah menganggap umrah itu sebagai sebuah keniscayaan. Kalau memang ditakdirkan berangkat yaa berangkat. Perkara kemudian ternyata saya betul-betul bisa umrah, saya hanya bilang “Alhamdulillah”.

Jadi kalau tidak ada kondisi yang “memaksa” saya untuk umrah, bisa jadi saya tidak akan berani berangkat. Niat untuk melakukan taubatan nasuha itu betul-betul membuat takut. Saya jadi teringat dengan pengalaman niat berhenti merokok. Dulu saya memang perokok, meski tidak tergolong pecandu berat. Kebiasaan merokok ini sempat berhenti beberapa kali karena sakit, tapi kemudian merokok lagi ketika sembuh. Pernah juga berhenti merokok gara-gara berkantor di gedung ber-AC sehingga tidak memungkinkan merokok. Namun begitu saya keluar dari kantor itu, tetap saja kambuh merokok lagi. Saya betul-betul berhenti merokok ketika berkantor di suatu bangunan yang semua orangnya merokok. Saya memaksa diri sendiri untuk tidak merokok dengan cara puasa Senin – Kamis, tanpa harus berbuka dengan merokok. Dengan catatan, jangan sekali-sekali mencoba merokok karena kangen misalnya. Ibarat ibu menyapih bayinya, meski bayi menangis histeris jangan sampai luluh memberinya ASI lagi. Alhamdulillah sampai sekarang saya tidak merokok lagi sejak sekitar lima tahun lalu. Mungkin lebih.

Tapi bagaimana dengan taubatan nasuha dalam umrah? Bisakah saya bersikap “kejam” seperti ibu menyapih bayinya? Bisakah saya betul-betul berhenti melakukan dosa sebagaimana saya berhenti merokok? Ahh sudahlah. Itu urusan nanti. Yang penting saya sudah menancapkan sebuah tekad bertobat dengan menjalankan ibadah umrah ini. Begitulah, daripada membayangkan karpet panas yang bakal saya injak, maka begitu menginjakkan kaki di lapangan terbang King Abdul Azis, Jeddah, saya sesering mungkin melafalkan “Astaghfirulah” dalam setiap langkah kaki saya. Astaghfrullah ya Allah, ampunilah segala dosa-dosaku. Sampai kemudian saya lupa karena asyik menikmati pemandangan bandara yang indah itu. Pindah ke bus yang dingin, malah kemudian tertidur sampai tahu-tahu terbangun karena bus berhenti isi bensin.

Persis tengah malam, kami masuk di hotel Harmony di Madinah. Kalau dihitung sejak saya keluar dari rumah, waktu yang dihabiskan dalam perjalanan ini sekitar 24 jam. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Jam 3 pagi sudah berangkat, sholat shubuh di bandara Juanda, pesawat Lion Air jam 6.00, transit di Jakarta sampai jam 11.00, sampai di Jeddah butuh waktu 9 jam, namun jarum jam masih menunjukkan pukul 16.00 karena selisih waktu 4 jam lebih lambat. Perjalanan panjang diteruskan dengan bus hingga Madinah, langsung teler, tidur dan hampir kesiangan sholat subuh. Untung jadwal Subuh di Madinah sekitar pukul 5.30 waktu setempat. Sudah sangat siang kalau di Indonesia.

Pertama kali umrah, pertama kali mengunjungi Madinah, saya merasa seperti wong ndeso yang bingung melihat lampu-lampu sedemikian terang benderang padahal seharusnya hari masih gelap. Beruntung lokasi hotel tidak terlalu jauh dari masjid Nabawi, sekitar 500 meter, lumayan untuk jalan kaki. Dan dari kejauhan, saya lihat keanggunan masjid yang luar biasa itu. Saya membatin, inilah masjid tempat Nabi Muhammad SAW sering menjadi imam dan berceramah. Inilah masjid yang sering menjadi lokasi turunnya wahyu Allah. Di masjid inilah terdapat Raudlah alias Taman Surga, sebuah petak lantai masjid diantara mimbar dan makam Rasulullah. Di raudlah inilah konon doa-doa yang kita panjatkan akan dikabulkan Allah SWT. Maka banyak orang yang memaksakan diri sembahyang sunnah di areal sempit seluas 15 x 22 meter persegi itu. Waktu itu saya berkata dalam hati, di Raudlah itulah nanti saya akan memanjatkan permohonan ampun atas dosa-dosa saya selama ini.

Niat itu betul-betul terlaksana siang hari setelah sholat Dhuhur. Berdesak-desakan menuju Raudlah, terjepit-jepit oleh badan-badan besar, saya mengarus saja ambil terus istighfar, hingga tanpa terasa saya sudah berada di kawasan Raudlah. Saya tidak habis mengerti, bagaimana mungkin di tempat sesempit itu orang masih memaksakan diri sembahyang. Untuk ruku’ saja tidak bisa, apalagi ketika sujud yang berisiko diinjak kepalanya. Saya tidak ikut-ikutan melaksanakan sholat, cukup berdiri dekat tiang, membuka catatan kecil yang berisi titipan doa dari kerabat. Tidak lupa pula, sebagaimana rencana awal, saya memohon ampun atas dosa-dosa yang sudah saya perbuat selama ini.

Tekat untuk taubatan nasuha ini semakin diperkuat lantaran saya berhasil mencium Hajar Aswad. Tidak sembarang orang punya kesempatan langka ini. Sebagaimana tertulis dalam buku HAJI (Percakapan Ali Zainal Abidin dengan Asy-Syibli) ”Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin Cucu Rasulullah, Hikmah Haji, hlm. 79-90, Mizan, 1986, bahwa “barang siapa berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, seakan-akan ia berjabat tangan dengan Allah SWT! Oleh karena itu, ingatlah baik-baik, wahai insan yang merana dan sengsara, janganlah sekali-kali berbuat sesuatu yang menyebabkan engkau kehilangan kemuliaan agung yang telah kau capai, dan membatalkan kehormatan itu dengan pembangkangan kepada-Nya, sebagaimana dilakukan oleh mereka yang bergelimang dalam dosa-dosa!”

Dalam buku itu juga dijelaskan, bahwa ketika berdiri di maqam Ibrahim sekaligus mengukuhkan niat untuk tetap berdiri di atas jalan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh segala maksiat. Salat dua rakaat di maqam Ibrahim, juga seharusnya berniat mengikuti jejak Nabi Ibrahim as dalam salat beliau, serta menentang segala bisikan setan. Terus terang, saya memang tidak secara eksplisit menyatakan hal itu, tetapi saya merasa hal itu sudah terangkum dalam doa-doa yang saya lafalkan waktu itu.

Permohonan ampunan di depan Ka’bah saya lakukan sampai nangis-nangis dengan air mata membasahi kain ihram saya. Ada semacam perasaan lega setelah itu, seolah-olah berhasil membuang beban berat yang mengganjal dalam dada. Pertanyaannya, apakah dengan demikian saya sudah menjalankan taubatan nasuha? Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allah, sbb: (1). Orang yang berbuat dosa itu harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini ia lakukan. (2). Dia harus menyesali perbuatan tersebut. (3). Dia harus berazam (mempunyai tekad bulat) tidak mengulangi perbuatan itu. Jika perbuatan dosa itu ada hubungannya dengan orang lain maka di samping tiga syarat terdahulu, ada satu syarat lagi yaitu: (4). Harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan. Jika yang dirugikan itu hartanya maka harta itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat maka dia harus minta maaf. Demikian seterusnya. Di samping syarat-syarat tersebut di atas, orang yang bertaubat dianjurkan melakukan shalat dua raka’at. Shalat ini dikenal dengan nama shalat taubat.

Terus terang, saya waktu itu memang tidak secara khusus melaksanakan shalat taubat, tetapi ketika sholat di dekat Maqom Ibrahim sehabis tawaf, saya memang berniat diri untuk memohon ampun atas dosa-dosa saya. Mudah-mudahan doa saya ini diterimaNYA.

Pulang dari umrah, ternyata saya masih melakukan dosa lagi, bangun kesiangan sehingga tidak sholat subuh. Waduuuh, yang tidak disengaja seperti ini bisa dimaklumi gak yaaa…. Tuhan baik deh…. (niru anak gaul…hehe…)

Bersambung

Tinggalkan komentar