Eksplorasi Artistik Akuarium Dolly

Alunan dangdut “Buah Simalakama” mengawali pertunjukan, seiring dengan terbukanya layar panggung. Tidak lama mengalun, terpampanglah pemandangan, tiga buah sofa merah menyala, seorang perempuan memperlihatkan punggung telanjangnya, duduk di ujung punggung sofa, menghadap ke dinding. Ini adalah sebuah awalan yang bagus untuk menggiring imajinasi penonton ke sebuah dunia malam bernama Dolly.

Itulah gambaran awal pertunjukan Sekar Alit Santya Putri berjudul “Ex Dolly” di gedung Cak Durasim, Sabtu (30/9). Pementasan yang merupakan program Fasilitasi Taman Budaya Jatim ini menjadi bermakna konotatif ketika pada hari yang sama banyak orang bergemuruh dalam suasana “anti PKI” yang diidentikkan dengan warna merah. “Sofa itu merah Jendral.”

Dan lebih khusus lagi, pada hari yang sama, seorang lelaki, mantan redaksi Harian Surabaya Post, bernama Tjahjo Purnomo Widadi dimakamkan setelah meninggal dunia Rabu sebelumnya (27/9). Alumnus dan mantan dosen Universitas Wijaya Kusuma itulah yang pernah terkenal dengan karya skripsi yang kemudian dibukukan dengan judul “Dolly”, tahun 1980-an. Pementasan tari kontemporer ini seakan menjadi sebuah penghormatan tersendiri buat Tjahjo. Sebuah kebetulan yang mengharukan………

Nama Dolly selama ini identik dengan kota Surabaya selama puluhan tahun. Meski faktanya “Dolly” hanya nama tak resmi sebuah gang di kampung Jarak dan Putat Jaya, namun kawasan sekitarnya ikut terimbas dengan sebutan kawasan prostitusi. Tidak heran sekian waktu yang lalu Surabaya disebut-sebut memiliki kawasan pelacuran terbesar se-Asia Tenggara. Sebuah “prestasi” yang sama sekali tidak membanggakan.

Gerah dengan stigma tak sedap itu maka lokalisasi Dolly, dan juga sekitarnya, ditutup oleh Walikota Surabaya tahun 2014 yang lalu. Kampung prostitusi itu disulap menjadi kampung ekonomi kreatif, warga-warganya diberdayakan, alih profesi, sama sekali menjauh dari bisnis lendir itu.  Selesai? Rasanya kok tidak (belum).

Bayangkan sebuah ruangan dengan jendela kaca seluas dinding bagaikan akuarium. Di dalam ruang yang tidak terlalu terang itu duduk beberapa perempuan berpakaian seksi di atas sofa merah menyala. Di atas panggung, suasana ini berubah menjadi penari dengan gerakan patah-patah, ada juga perempuan-perempuan bagai ikan yang megap-megap mulutnya menunggu umpan. Mereka seolah ikan-ikan menggelepar tak berdaya. Tingkah mereka terkesan seenaknya, meski itu upaya untuk bebas merdeka. Dan perempuan lain dengan gagah mengangkanginya.

Sofa-sofa merah menjadi saksi bisu atas perilaku manusia akuarium. Andakata sofa-sofa itu juga bernyawa, mereka akan ikut gelisah melihat para manusia akuarium terombang-ambing nasibnya. Meski dalam satu tarikan nafas yang sama sofa-sofa itu juga tahu anak-anak manusia dihimpit nasib yang terpuruk, namun mereka harus tetap ceria.

Perseteruan, saling sikut, iri dan dengki. Tak boleh ada yang duduk jenak begitu saja. Sofa merah itu adalah singgasana. Perempuan yang satu menunggangi sesama temannya. Kebersamaan yang sepertinya indah itu kadang menjelma serigala terhadap serigala. Homo homini lupus. Kemana lagi harus bersembunyi? Pelukan germo adalah solusi palsu yang menenteramkan sementara.

Teriakan peluit membuyarkan mereka, mengingatkan peluit petugas Satpol Pamong Praja ketika mengobrak pelacur jalanan. Dolly memang bukan hanya sepotong gang. Dolly identik dengan kawasan pelacuran terbesar. Merebak dari kampung Jarak, Putat Jaya, Banyu Urip, sepanjang tepi Jalan Diponegoro hingga kawasan pemakaman Kembang Kuning.

Ilustrasi musik sepotong-sepotong yang berganti-ganti, mengesankan bahwa meski mereka adalah pemain utama, tetapi mereka tidak bisa menentukan lakon apa yang dimainkannya. Tergantung siapa tamu yang dilayaninya. Termasuk juga

Pertunjukan tari yang disebutnya kontemporer ini lumayan melelahkan. Durasi sepanjang 60 (enam puluh) menit terasa sangat lamban. Atau memang begitukah yang ditangkap Alit dengan karyanya ini? Memang pertunjukan ini bukan sebuah reportase, tetapi sedikit banyak inilah persepsi Alit atas suasana kampung prostitusi yang dikenal dengan nama Dolly, meski senyatanya Dolly hanyalah nama sebuah gang di tengah kompleks prostitusi yang pernah disebut-sebut terbesar se-Asia Tenggara itu.

Tidak ada suasana ceria sama sekali. Sepanjang pertunjukan terasa muram. Ritme tidak menunjukkan grafik yang dinamis. Apakah memang begini pertunjukan yang mengklaim kontemporer? Sebagaimana pernah dikatakan Dick Hartoko, bahwa kesenian memang tidak selalu indah.

Dan yang menarik dari pertunjukan ini, Alit telah membebaskan diri dari penjajahan musik. Bahwa setiap gerakan bukanlah visualisasi dari musik (atau sebaliknya) sebagaimana yang terjadi pada ballet. Sepanjang pertunjukan hanya potongan-potongan komposisi musik yang dihadirkan dari beragam genre. Mulai dangdut, klasik, lagu berbahasa Jerman, atau kidungan ludruk. Tetapi tidak jarang gerakan berlangsung dalam diam. Tidak ada suara apapun. Tidak ada gerakan ritmis. Bergerak begitu saja, tanpa harus ada komando supaya sama dan mengais-ngais artistik. (henri nurcahyo)

 

 

Tinggalkan komentar