Profesionalitas Ivan Hariyanto

Oleh Henri Nurcahyo

Apakah yang dapat dikenang dari Ivan Hariyanto? Pelukis asal Banyuwangi itu dikenal sebagai lelaki temperamental yang suka meledak-ledak dalam banyak hal. Tidak sedikit temannya yang pernah berurusan dengan kemarahannya, namun toh kembali akur lagi. Dalam sebuah diskusi dia tidak pernah berdiam diri. Mengacungkan jari, bertanya atau menggugat sesuatu yang menjadikan diskusi malah seru.

Ketika kuliah di STSRI “ASRI” (yang sekarang bernama ISI) Yogyakarta Ivan pernah terlibat dalam gerakan “Kepribadian Apa” (Pipa) yang menggugat kemapanan saat itu. Sekian tahun kemudian pelukis yang berdiam di Ngagel Tirto II/8 Surabaya ini mengajak beberapa rekannya untuk mengenang peristiwa itu dalam sebuah pameran di Galeri Surabaya.

Di tengah sikap kontroversialnya, toh Ivan justru orang yang seringkali menggelar pameran lukisan bersama. Dialah yang menjadi motor utamanya, mengurus venue pameran, menangani katalog, display hingga publikasinya sendiri. Ketika di Jakarta ada Himpunan Pelukis Jakarta (Hipta) yang dimotori Hardi, Ivan melahirkan Himpunan Pelukis Surabaya (Hipbaya) yang berhasil merekrut puluhan pelukis dalam pameran di Jakarta, Solo dan Denpasar.

Keberadaan Hipbaya memang tidak lama, namun bukan Ivan kalau hanya puas bergerak sendiri. Dia kibarkan bendera “Jatim Art Now” dalam pameran lukisan bersama di Galeri Nasional Jakarta. Inilah pameran yang mendapat sambutan luar biasa, diapresiasi oleh media massa nasional, didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Tajuk yang sama dikibarkan lagi di Galeri Soemardja ITB Bandung meski dengan sedikit peserta keterbatasan tempat.

Demikian pula ketika “Pameran Seabad Pelukis S. Sudjojono”, Ivan mengoordinasi para pelukis Surabaya untuk menghadirkan karya merespon Sudjojono. Pola yang sama dilakukan lagi ketika sahabatnya, Hening Purnamawati, meninggal dunia, Ivan pula yang memprakarsai pameran lukisan bersama “Mengenang Hening” di Galeri Orasis. Puluhan pelukis merespon Hening dalam karya yang sudah ditentukan ukurannya, 57×57 sentimeter, sesuai dengan usia Hening ketika tiada.

Hingga kemudian, ketika pencipta logo “Surabaya Sparkling” itu pergi untuk selama-lamanya (14/3), Ivan sedang mempersiapkan pameran lukisan bersama “Padhang Langite” di Galeri Raos Kota Batu yang akan dibuka minggu depan (24/3). Termasuk pula, sebuah proposal pameran bersama sudah diluncurkan ke Bentara Budaya Yogyakarta.

Kebersamaan, itulah layak dikenang dari seorang Ivan Hariyanto, bukan pelukis yang soliter. Lulus dari ISI Yogyakarta, Ivan justru tidak langsung berkarier sebagai pelukis. Dia bekerja di sebuah perusahaan di kawasan Surabaya selatan. Karya-karyanya semasa mahasiswa adalah bergaya pop art, yang mengeksplorasi bentuk-bentuk realis fotografis. Kemudian ketika Ivan keluar dari tempat kerjanya, jagad seni rupa negeri ini sedang dilanda demam surrealisme. Ivan juga sempat terhanyut dalam pusaran itu sampai akhirnya dia menemukan gaya sendiri yang tetap berpijak pada realisme. Lukisannya menyajikan objek-objek pemandangan kota namun tanpa manusia sama sekali. “City Without People” adalah judul pameran tunggalnya yang kemudian menjadi ciri khasnya.

Toh lukisan dengan gaya pribadinya seperti itu tidak dijadikan sebagai sandaran utama bagi penghidupannya. Pelukis kelahiran Banyuwangi 18 November 1955 ini tidak segan-segan membantu isterinya berjualan makanan di kantin sebuah SMP dekat rumahnya. Mulai dari ikut belanja ke pasar, menggoreng kerupuk, sampai dengan ikut menjaga kantin sejak pagi hingga siang hari.

Kemahirannya memang melukis realis. Itu pula yang dijadikan sumber penghasilan dalam kesehariannya dengan cara membuat lukisan-lukisan kemedol (mudah dijual) untuk dipasarkan di Bali. Ivan menyebutnya lukisan Legongan karena banyak menampilkan penari-penari Legong. Belakangan, Ivan bahkan tidak malu-malu melukis dalam kanvas-kanvas kecil, sisa Pameran Mengenang Hening dengan objek pemandangan alam. “Iki gawe penguripan,” ujarnya polos.

Pada mulanya, rumah yang ditinggalinya itu mengontrak, tetapi nampaknya Ivan menyukainya sehingga kemudian dia beli. Di rumah inilah Ivan mendirikan “Rumah Data Seni Rupa Jawa Timur.” Tujuannya jelas, segala informasi mengenai seni rupa Jawa Timur ada di situ. Tetapi ada kalanya Ivan jengkel juga karena sering jadi sasaran ditanya nomor telepon pelukis. “Mbok kiro iki 108 yoo,” katanya.

Ivan yang pernah menjabat Ketua Presidium Dewan Kesenian Surabaya (DKS) tahun 2004-2007 bersama dengan Yunus Jubair dan Surin Welangon, ini memang tipe lelaki yang sayang keluarga. Keempat anaknya adalah kebanggaannya. Anak pertama laki-laki, kembar, bernama Widya Rangga Prameswara (Wiwid) dan Ditya Rangga Prameswara (Didit), kemudian Delaz Tohar Ksatria Cakti (Cakti) dan bungsu perempuan Cininta Anugrah Esa (Nita). Kecuali Cakti, mereka sudah berkeluarga semua.

Meski saya dikenal dekat dengan Ivan, sebetulnya dalam beberapa hal hubungan saya boleh dibilang “putus-sambung”. Pernah sekian lama saya diblokir berteman, “jangankan telepon, ada SMSmu masuk saja langsung tak-delet,” kata Ivan. Toh keluarganya akrab dengan keluarga saya, saling mengunjungi. Kalau sudah baik, Ivan sanggup membantu apapun demi temannya, termasuk saya. Gak usah dibayar, ujarnya ketika dia meminta sendiri pekerjaan tata letak buku saya.

Namun belakangan saya kehilangan kontak, meski sama-sama tahu aktivitas masing-masing, sampai akhirnya berita mengejutkan itu beredar, Ivan Hariyanto meninggal dunia. Dan saya baru tahu, ternyata nama saya di-delete Ivan dari pertemanan di fesbuk. Oalah Van, semoga damai kepergianmu, bagaimanapun semua kebaikan dan jasamu tak kan terlupakan. (*)

– Penulis adalah Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetaN.

Catatan:
Artikel ini dimuat di Jawa Pos edisi Minggu, 18 Maret 2018

Tinggalkan komentar